Sunday, February 10, 2008

Mahluk Adikodrati

Agama Buddha tidak mempercayai adanya Mahadewa, yang dianggap sebagai suatu makhluk adikodrati. Ada banyak alasan untuk ini. Sang Buddha, seperti halnya ahli sosial dan psikologi modern, percaya bahwa gagasan tentang “mahadewa” bermula dari rasa takut. Beliau mengatakan:
“Karena rasa takut, orang-orang pergi mencari perlindungan ke gunung-gunung, ke hutan-hutan, ke pohon-pohon, dan ketempat-tempat pemujaan yang dianggap keramat” .(Dhammapada.108)

Manusia primitif merasa hidup dalam dunia yang penuh marabahaya dan tak bersahabat, ketakutan terluka dan sakit, dan ketakutan pada gejala-gejala alam seperti geledek, petir, letusan gunung api, dan sebagainya. Dalam cekaman rasa takut dan tidak menemukan perlingungan, mereka menciptakan gagasan mengenai makhluk adikodrati untuk menumbuhkan keyakinan disaat bahaya dan penghiburan di kala kesedihan.

Sampai hari ini, Anda bisa melihat begitu banyak orang menjadi lebih religius pada masa-masa kritis; mereka mengatakan bahwa kepercayaan terhadap mahadewa merukapan sumber kekuatan yang dibutuhkan untuk menghadapai kehidupan. Dengan percaya akan mahadewa, bila mereka berdoa, maka mahadewa pasti akan menjawab. Hal ini mendukung ajaran Buddha bahwa gagasan tentang mahadewa muncul dari rasa takut dan putus asa. Sang Buddha mengajarkan kita untuk belajar memahami rasa takut, untuk membatasi keinginan, serta dengan tenang dan tabah menerima segala sesuatu yang tidak dapat kita ubah. Hendaknya tidak mengatasi rasa takut dengan kepercayaan yang tak masuk akal, namun dengan pengertian yang nalar.

Alasan kedua umat Buddha tidak menerima gagasan tentang mahadewa yaitu, tidak adanya keterangan yang layak untuk mendukung gagasan tersebut. Alasan ketiga, kepercayaan tersebut sebenarnya tidak diperlukan. Ada yang berkata bahwa kepercayaan adanya mahadewa sebagai suatu makhluk adikodrati, diperlukan untuk menjelaskan asal muasal(”penciptaan”) alam semesta. Hal ini tidaklah benar! Ilmu pengetahuan secara meyakinkan telah menjelaskan terjadinya alam semesta, tanpa menggunakan gagasan mengenai mahadewa sebagai penciptanya. Ada juga yang menyatakan bahwa kepercayaan akan mahadewa dibuthukan untuk mencapai kebahagiaan dan agar hidup ini berarti. Lagi-lagi kita dapat menyangkalnya. Ada jutaan orang tak beragama dan pemikir bebas, juga umat Buddha, yang dapat hidup bahagia dan berarti tanpa harus percaya adanya mahadewa. Lain orang berpendapat, percaya akan kuasa mahadewa - makhluk adikodrati itu - diperlukan karena manusia adalah makhluk yang lemah, tidak memilik ikekuatan untuk menolong dirinya sendiri. Sekali lagi, banyak bukti menunjukkan sebaliknya. Kita sering mendengar orang-orang yang mampu mengatasi keterbatasan fisik, berbagai kesulitan, rintangan dahsyat, dengan kekuatan dari dalam diri mereka sendiri, dengan upaya sendiri, tanpa kepercayaan akan mahadewa seperti itu.

Ada yang berkata mahadewa dibutuhkan untuk menyelamatkan manusia, dengan syarat kita menerima gagasan penyelamatan itu. Umat Buddha tidak menerima gagasan tersebut berdasarkan pengalaman-Nya sendiri, Sang Buddha melihat bahwa seitap orang memiliki kemampuan untuk menyucikan pikiran, mengembangkan cinta kasih dan welas asih tanpa batas, dan menyempurnakan pemahamannya. Beliau mengalihkan perhatian dari “Surga” ke hati, dan menganjurkan kita untuk menemukan pemecahan masalah melalui pemahaman kita sendiri.

Oleh Ven.S Dhammika

No comments: